Assalamu’alaikum wr wb,
Apakabar sahabat ayahucuB dimanapun anda berada, semoga keselamatan selalu menyertai kita semua…aamiin ya rabbal ‘alamiin.
Kali ini saya sedang belajar tentang ‘Hikmah Berempati Dan Optimis Dalam Kisah Nabi Yakub a.s.’. Hikmah apa yang bisa diambil pelajaran dari kisah kesedihan Nabi Yaqub yang kembali kehilangan anaknya yang paling kecil (Benyamin), seperti yang ada di dalam surah Yusuf [12] ayat 84 – 87.
Mari kita belajar bersama.
Hikmah Berempati Dan Optimis Dalam Kisah Nabi Yakub a.s.
Ini adalah kisah saat Nabi Yusuf a.s. yang telah lama terpisah oleh dari keluarganya. Nabi Yusuf a.s. dibuang ke dalam sumur dan ditemukan oleh Musafir. Nabi Yusuf a.s. kemudian menjadi pelayan, lalu dituduh bersalah dan akhirnya dipenjara. Kemudian dia dibebaskan dari penjara dan mengabdi sebagai menteri keuangan yang mengurusi krisis ekonomi yang sedang terjadi di kerajaan. Nabi Yusuf a.s. memiliki kekuasaan saat itu. Karena sedang terjadi paceklik berkepanjangan, semua wilayah sekitarnya mengalami kekurangan makanan. Rakyat mendapat bantuan dari kerajaan dengan syarat membawa anggota keluarganya untuk memastikan bahwa bantuan yang diterima sesuai dengan jumlah anggota keluarganya. Saudara saudara Nabi Yusuf a.s. termasuk saudara yang terkecil Benyamin, dipanggil ke kerajaan untuk menerima santunan. Saat mereka datang, Nabi Yusuf a.s. mengenali mereka, tetapi mereka tidak mengenali Nabi Yusuf a.s.. Nabi Yusuf a.s. menahan Benyamin. Mereka pulang kembali ke ayahnya yaitu Nabi Yakub a.s. tanpa Benyamin yang ditahan oleh Kerajaan. Mereka berpikir bahwa Benyamin ditahan oleh kerajaan, tetapi Nabi Yusuf a.s. bermaksud untuk menjaganya.
Mereka mengabari Nabi Yakub a.s bahwa Benyamin ditangkap kerajaan dan tidak akan kembali, sama seperti mereka mengabari Nabi Yusuf a.s. yang hilang tidak akan kembali.
Dan Ya’qub berpaling dari mereka (anak anaknya) seraya berkata: “Aduhai duka citaku terhadap Yusuf”, dan kedua matanya menjadi putih karena kesedihan dan dia adalah seorang yang menahan amarahnya (terhadap anak anaknya). (QS Yusuf [12] : 84)
Kesedihan kehilangan Benyamin memicu kesedihan kehilangan Nabi Yusuf a.s. Kesedihan kehilangan Nabi Yusuf a.s. yang sudah tersimpan bertahun tahun di hati muncul kembali.
Mereka berkata: “Demi Allah, senantiasa kamu mengingati Yusuf, sehingga kamu mengidapkan penyakit yang berat atau termasuk orang-orang yang binasa”. (QS Yusuf [12] : 85)
Dan apa tanggapan mereka menanggapi kesedihan Nabi Yakub a.s.? Kalau bahasa sekarang mereka meminta Nabi Yakub a.s untuk Move On dan mengatakannya dengan bahasa yang keras.
‘Ayah, mengapa tiba tiba mengingat Yusuf yang sudah hilang bertahun tahun. Kita kan sedang bicara Benyamin. Ayolah, Move On. Yusuf sudah tidak ada, janganlah terlalu bersedih, lupakan saja. Apakah ayah mau lumpuh, lihat mata ayah sudah tidak bisa melihat. Kalau terus begini ayah bisa meninggal. Lupakan ini. Move on!’. Mereka pikir, mereka sedang menolong ayahnya. Menunjukan kasih sayang dengan ketegasan, dengan berteriak dan membentak ayahnya. Mereka tidak peka.
Ya’qub menjawab: “Sesungguhnya hanyalah kepada Allah aku mengadukan kesusahan dan kesedihanku, dan aku mengetahui dari Allah apa yang kamu tiada mengetahuinya”. (QS Yusuf [12] : 86)
Karena mereka tidak mau menolong, tidak mau mendengarkan Nabi Yakub a.s. maka ia mengadukan masalahnya ke Allah.
Hai anak-anakku, pergilah kamu, maka carilah berita tentang Yusuf dan saudaranya dan jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir”. (QS Yusuf [12] : 87)
Keyakinannya kepada pertolongan Allah membuat Nabi Yakub a.s. optimis. Karena optimis atas pertolongan Allah adalah pembeda orang beriman dan tidak beriman.
Apa pelajaran yang bisa diambil dari dialog di atas. Jika kita perhatikan dari dialog di atas, ada seorang anggota keluarga yang sedang menghadapi kesedihan yang mendalam dan anggota keluarga lainnya tidak terlalu peka terhadap kesedihannya. Tidak mau mendengarkan. Tidak mau diajak bicara.
Pelajaran bagi orang yang sedang dicurhati
Ketika seseorang mencurhatkan bahwa ia memiliki masalah ini dan itu, kita biasanya menyarankan untuk mengadukan masalahmu ke Allah saja jangan kepadaku. Seperti jawaban Nabi Yakub a.s. kepada anak anaknya di atas, “Sesungguhnya hanyalah kepada Allah aku mengadukan kesusahan dan kesedihanku”.
Beda konteks, Nabi Yakub a.s. mengadukan masalahnya kepada Allah karena tidak ada yang mau mendengarkan. Mengapa ia memendam kesedihan begitu lama, karena tidak ada yang mau diajak bicara, tidak ada yang mau mendengarkan. Setiap mau curhat disuruh Move On. Ibaratnya orang sedang mau tenggelam minta tolong, lalu kita bilang berenang aja. Ayolah kamu bisa kok gak tenggelam.
Mendengarkan ibarat pelampung yang kita berikan kepada orang yang mau tenggelam.
Kita dapat memilih untuk menjadi wakil Allah untuk menetralisir kesedihan orang itu sebelum memintanya optimis, sebelum memintanya Move On. Jangan memintanya untuk tidak bersedih, cukup dengarkan saja dengan tulus dengan empati. Hal ini bisa memberinya udara psikologis. Kalau di 7 habits ada di Kebiasaan 5 mendengarkan dengan empati.
Pelajaran bagi orang yang sedang bersedih
Kesedihan tidak sama dengan putus asa. Kita boleh menangis, bersedih, curhat, tetapi tetap optimis dan tidak berputus asa atas rahmat Allah. Setan sangat mudah mempengaruhi saat kita dalam keadaan sedih, ‘Tidak ada harapan lagi, hidupmu sudah berakhir.’ Mudah menenggelamkan kita dalam sikap pesimis. Allah mengizinkan orang beriman untuk mengungkapkan perasaannya dan merasakan kesedihan dan meneteskan air mata, tetapi Allah tidak membiarkan kita larut dalam keputusasaan. Saat kita bersedih, kembalilah kepada Allah dan berdoa agar Allah membantumu tidak perduli seberapa mustahilnya. Seberapa mungkin Nabi Yusuf a.s. yang hilang di hutan selama 20 tahun akan bisa ditemukan? Sepertinya tidak mungkin, tidak masuk akal, harapan kosong.
Boleh bersedih, tetapi tetaplah berharap kepada Allah. Kalau kita tidak melakukannya, apa bedanya kita dengan orang yang tidak beriman? Siapakah orang beriman itu? Apakah kita menganggap orang beriman adalah orang yang percaya kepada Allah, beribadah kepada Allah, tidak mensekutukan Allah dengan yang lain. Sedangkan orang beriman adalah yang kebalikannya, orang yang menolak Allah?
Bagaimana dengan ayat ini “Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir”. Orang yang pesimis dari Rahmat Allah sama saja dengan orang yang tidak beriman. Apa gunanya beriman kalau kita tidak optimis kepada Allah? Saat kita bersedih setan bisa membisiki kita, ‘kehidupan di dunia ini sudah buruk, semoga di akhirat nanti lebih baik’. Awas, hati hati, ini adalah bisikan keputusasaan. Nabi Yakub a.s. tidak berkata ‘Baiklah, aku akan melupakannya dan semoga aku dapat melihat Nabi Yusuf a.s. di surga’. Tetapi ia berkata, ‘Pergilah, cari Yusuf a.s. dan Benyamin sekarang, bukan nanti di akhirat’.
Kita harus optimis bahwa Allah membantu kita di dunia dan akhirat, bukan hanya di akhirat saja. Karena ini bagian dari hubungan kita dengan Allah. Hubungan emosional kita dengan Allah. Jika kita tidak melakukan ini, apa bedanya kita dengan orang yang tidak beriman?
Semoga Allah memberikan kepekaan di hati kita kepada orang yang sedang ditimpa musibah, dan menjadikan kita semua menjadi orang yang sabar dan optimis akan rahmat Allah…Amiin Ya Rabbal ‘alamiin…
Demikian penjelasan tentang ‘Hikmah Berempati Dan Optimis Dalam Kisah Nabi Yakub a.s.‘ yang dapat saya sampaikan. Semoga bermanfaat dan bisa menjadi tambahan pengetahuan bagi sahabat. Lebih kurangnya mohon maaf.
Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh…
https://biolinky.co/ayahucub